Monday, November 6, 2017

Manusia Ulul Albab


Oleh: Dr. Abdul Ghoni, M.Hum.

     Di antara kelebihan manusia pertama Nabi Adam, saat diangkat menjadi Khalifah fil ardh adalah karena ilmu atau pengetahuan yang dimiliki. Hal tersebut secara gamblang dijelaskan dalam surat al-Baqarah ayat 30 sampai ayat 33. Dengan ilmu, seseorang mendapat sebutan orang yang cerdas, pandai, pintar dan lain sebagainya. Namun demikian istilah “Cerdas” yang selama ini dipahami sebatas menurut persepsi manusia. Orang disebut cerdas ketika mendapatkan nilai bagus pada saat mengikuti program pendidikan, atau ia dapat diterima untuk mengikuti kegiatan pembelajaran di lembaga pendidikan terkenal dan sangat selektif dalam penerimaan.

     Ternyata semua itu hanya salah satu indikator dari kecerdasan. Indikator itu saja tidaklah cukup. Hal ini yang kemudian berakibat pada hadirnya orang-orang yang cerdas, akan tetapi tidak banyak membawa maslahat dalam kehidupan, atau bahkan sebagian orang yang cerdas justru membawa mimpi buruk dalam peradaban. Kecerdasan yang ada pada diri seseorang tidak berbanding lurus dengan kemasalahatan, atau bahkan berbanding terbalik. Tidak mustahil jika semakin cerdas seseorang, justru semakin besar kezaliman yang dilakukan.

     Oleh karena itu, menjadi sangat urgen bagaimana memahami manusia cerdas menurut perspektif al-Qur’an. Dalam al-Qur’an, Allah memberikan sebutan khusus bagi orang yang cerdas dengan istilah ULUL ALBAB. Secara bahasa kata “Ulu” berarti memiliki atau pemilik. Sedangkan kata “Albab” adalah bentuk jamak dari “lubb” yang berarti isi. Contohnya, sebutir kacang ada kulit dan isinya. Maka isinya disebut dengan “lubb”. Sekilas secara etimologis yang dimaksud dengan “Ulul Albab” adalah orang yang dapat memahami sesuatu hingga ke isinya, dan tidak terkecoh dengan kulitnya.

     Dalam al-Qur’an, Allah menjelaskan ciri-ciri Ulul Albab dalam surat Ali Imran 190, yang berbunyi:

إِنَّ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ وَاخْتِلاَفِ اللَّيْلِ وَالنَّهَارِ لآيَاتٍ لِّأُوْلِي الألْبَابِ

"Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,"

     Inilah penampakan atau karakteristik seorang Ulul Albab. Baginya segala yang nampak secara kasat mata hanya kulit saya, sedangkah hakikat atau isinya adalah tanda kebesaran dan keagungan Allah SWT.

   Seluruh Fenomena di sekelilingnya memembawanya pada semakin membesarkan dan mengagungkan Allah. Di balik penciptaan langit ada kekaguman ketika Allah menciptakan langit yang membentang luas tanpa satu pun tiang yang menopangnya, sebagaimana dijelaskan dalam surat ar-Ra’d ayat 2. 
     
     Begitupun ketika ia berjalan di permukaan bumi, ia merenung betapa bumi tidak terlalu keras dan tidak terlalu lunak. Jika bumi sangat keras, manusia tidak dapat membangun bangunan apapun di atasnya. Jika bumi terlalu lunak, maka manusia bak berjalan di atas lumpur yang semakin banyak ia bergerak akan semakin dalam ia terpendam.

     Begitupun dengan pergantian siang dan malam. Betapa siang tanpa malam atau malam tanpa siang akan mempersulit manusia menjalani hidupnya. Bayangkan berapa kekuatan daya listrik yang dibutuhkan jika manusia harus menerangi seperti terangnya siang hari. Namun Allah cukup mengatasi itu semua dengan menyalakan matahari. Betapa sulitnya seseorang untuk beristirahat nyenyak di siang hari, untuk memulihkan tenaga dan energinya. Semua itu cukup dengan mematikan matahari dan menghidupkan bulan sehingga jadilah malam hari.

     Bagi seorang Ulul Albab, ia tidak berhenti pada melihat fenomena  itu semua dan kemudian selesa. Akan tetapi ia terus mendalami dan mendalami hingga ia sampai pada puncak keadaannya saat makin merasakan keagagungan dan kebesaran Allah. Aktivitas inilah yang menjadi kebiasaan seorang Ulul Albab.

     Bagaimana titel atau predikat Ulul Albab itu bisa diraih?  Bagaimana al-Qur’an mengajarkan kita semua menjadi Ulul Albab? Di sinilah Al-Qur’an menjelaskan How to-nya!

     Dalam surat Ali Imran ayat 191, Allah mengajarkan bagaimana cara meraih predikat Ulul Albab.
Cara pertama termaktub dalam ayat yang berbunyi:

الَّذِينَ يَذْكُرُونَ اللّهَ قِيَامًا وَقُعُودًا وَعَلَىَ جُنُوبِهِمْ

“Orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring.”

     Seorang Ulul Albab selalu mengingat Allah di mana saja dan kapan saja. Ia mengingat Allah dengan hati, lisan dan dengan amal perbuatannya. Kesemua geraknya dalam kerangka selalu ingat kepada Allah. Saat lisannya mengucapkan, hatinya membenarkan, dan anggota badannya melakukan setiap perbuatan dalam rangkat ingat kepada Allah. Ulul Albab selalu berzikir dengan lisan, hati dan perbuatannya.

     Cara kedua termaktub dalam lanjutan ayat di atas (surat Ali Imran ayat 191) yang berbunyi: 

وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلْقِ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ رَبَّنَا مَا خَلَقْتَ هَذا بَاطِلاً سُبْحَانَكَ فَقِنَا عَذَابَ النَّارِ

“Mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka.”

     Ulul Albab terus memperdalam ilmu pengetahuannya. Ia terus berpikir dan berpikir secara mendalam. Ia selalu berpikir keras, memiliki rasa ingin tahu, dan terus melakukan penelitian yang mendalam. Ulul Albab selalu melakukan ujicoba, observasi, dan eksperimen-eksperimen. Semua itu dilakukan sampai pada puncaknya, ketika muncul kesadaran bahwa betapa luar biasanya ciptaan Allah ini. Hingga keluar dari lisannya kalimat “Robbana ma kholaqta haza bathila” (ya Allah ya Tuhan kami, sungguh tidak ada yang sia-sia dari semua ciptaan-Mu ini).

      Di mata seorang Ulul Albab, semua ciptaan Allah tidak ada yang sia-sia, tidak ada yang tidak bernilai. Sebaliknya, semua penuh manfaat, penuh hikmah, penuh ketakjuban dan keluarbiasaan. Tidak ada yang cacat sedikitpun dalam ciptaan Allah. Hal ini sejalan dengan apa yang Allah sampaikan dalam surat al-Mulk ayat 3 dan 4 yang berbunyi:

الَّذِي خَلَقَ سَبْعَ سَمَاوَاتٍ طِبَاقًا ۖ مَا تَرَىٰ فِي خَلْقِ الرَّحْمَٰنِ مِنْ تَفَاوُتٍ ۖ -
فَارْجِعِ الْبَصَرَ هَلْ تَرَىٰ مِنْ فُطُورٍ
ثُمَّ ارْجِعِ الْبَصَرَ كَرَّتَيْنِ يَنْقَلِبْ إِلَيْكَ الْبَصَرُ خَاسِئًا وَهُوَ حَسِيرٌ -

“Allah yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Tuhan yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang. Maka lihatlah berulang-ulang, Adakah kamu Lihat sesuatu yang tidak seimbang? Kemudian pandanglah sekali lagi niscaya penglihatanmu akan kembali kepadamu dengan tidak menemukan sesuatu cacat dan penglihatanmu itupun dalam Keadaan payah.”

     Setelah manusia menyadari kebesaran dan keagungan Allah, kemudia ia menyadari kekeliruannya hingga keluar dari lisannya ucapan “Subhanaka” (maha suci Engkau ya Allah). Kalimat tersebut lahir karena mungkin ada persepsi yang keliru sebelumnya atau sebelumnya manusia menganggap bahwa dirinya yang hebat, cerdas, dan pintar. Tapi pada akhirnya, Manusia sadar dan justru merasa rendah dan tidak ada apa-apanya di hadapan Allah. Seorang Ulul Albab pun merasa bersalah pada persepsi sebelumnya, sehingga ia meminta ampun kepada Allah dan meminta agar dihindarkan dari azab neraka yang amat pedih.

     Dengan demikian manusia yang cerdas dan berhak mendapat gelar Ulul Albab adalah manusia yang selalu ingat kepada Allah setiap saat dan di setiap tempat. Kemudian pada saat yang sama ia selalu berpikir tentang ciptaan Allah. Sungguh ciptaan Allah makin menambang keagungan Allah dalam diri seorang Ulul Albab. Tidak cukup manusia hanya berzikir tanpa berpikir, atau manusia hanya berpikir tanpa berzikir. Manusia harus mampu berzikir dan berpikir dalam hidupnya sehingga gelar Ulul Albab pantas untuk dirinya. Semoga membawa manfaat.









No comments:

Post a Comment