Oleh: Zulfa Nabilah
Menapaki
medan perjuangan dan menyusuri jalan kemuliaan yang telah diajarkan dan
dicontohkan oleh Rasul tercinta, Muhammad SAW adalah proses yang tak mudah.
Betapapun Allah SWT telah mengabarkan sebongkah keniscayaan akan kemenangannya di
akhir episode, namun manisnya kemenangan itu mungkin tak akan dirasakan,
terlebih menjadi hambar, tanpa turut serta menyelami pahit dan getirnya
nafas-nafas perjuangan dalam episode kesulitan ini.
Menyelam
tanpa bekal hanya akan membuat diri terseok-seok dan sulit untuk menghadapi
berbagai arus yang tak sepadan dengan daya pemahaman dan menimbulkan
kekhawatiran akan seuntai keyakinan bahwa jalan yang ditempuh merupakan sebuah
kebenaran yang harus diperjuangkan. Maka, sebesar apapun keyakinan tanpa
pemahaman takkan membuatnya menjadi kuat, selaksa amal tanpa pondasi ilmu yang
kokoh hanya akan berakhir kosong, namun tak bernilai.
Maka, Allah SWT
menyampaikan sebuah pesan dalam firmanNya :
قل هذه سبيلى أدعوا الى الله ج على بصيرة أنا و من التبعني صلى
و سبحن الله و ما أنا من المشركين (يوسف : 108)
“Katakanlah hai Muhammad, “Inilah
jalanku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah
dengan yakin, Mahasuci Allah dan aku tidak termasuk orang-orang yang musyrik.”
Maka,
dalam ayat tersebut Allah menghendaki RasulNya Muhammad SAW untuk berdakwah
dengan yakin, yaitu dengan bukti-bukti yang nyata, hujjah yang kokoh dan di
atas pondasi ilmu yang jernih. Sebagaimana Allah SWT menghendaki dakwah,
sebagai sebuah karakter dalam agama ini yang tidak boleh terpisahkan dari ilmu.
Sebab keyakinan imani yang menjadi pokok pondasi kita dalam menempuh sebuah
amal, tak cukup dengan asumsi yang hanya dibenarkan oleh hati, melainkan harus
dibersamai dengan ilmu yang menerangi.
Dalam
sebuah kisah diceritakan tentang begitu tinggi cita-cita seorang da’i dan
tabi’in mulia dan ternama, Urwah Ibnu Zubair, ketika sedang bercengkrama
bersama ketiga saudaranya, Abdullah bin Zubair, Mush’ab bin Zubair dan Abdul
Malik bin Marwan, yang membicarakan tentang khayalan dan cita-cita
masing-masing mengitari taman hasrat mereka yang subur. Di mana ketiga
saudaranya begitu berambisi untuk dapat menguasai wilayah-wilayah yang menjadi
target mereka masing-masing serta mampu menjadi khalifah di sana, ialah Hijaz,
Irak, dan menguasai seluruh dunia menggantikan posisi Mu’awiyah bin Abu Sufyan.
Sementara Urwah diam seribu bahasa, tak berkata sepatahpun. Kemudian,
saudara-saudanya pun mendekatinya dan berkata, “Bagaimana denganmu wahai Urwah,
apa yang menjadi cita-citamu kelak?”, kemudian Urwah menjawab, “Semoga Allah
SWT memberkahi semua cita-cita dari urusan dunia kalian, aku ingin menjadi alim
(orang berilmu yang mau beramal), sehingga orang-orang akan belajar dan
mengambil ilmu tentang kitab Rabbnya, sunnah nabinya, dan hukum-hukum agamanya
dariku, lalu aku akan berhasil di akhirat dan memasuki syurga dengan ridho
Allah SWT.
Dalam
kutipan sebuah buku, Syeikh Taqiyuddin An-Nabhani berkata, “Ketahuilah dan
pahamilah, pengemban dakwah takkan mampu memikul tanggung jawab dan
kewajiban-kewajibannya tanpa menanamkan pada dirinya cita-cita untuk mengarah
kepada jalan kesempurnaan, selalu mengkaji dan mencari kebenaran.”
Maka,
para da’i sudah selayaknya melangkah lebih jauh untuk mendidik ummat ini dengan
ilmu. Sebab, ilmulah yang akan menghantarkan tiap pribadi untuk sampai kepada
puncak kehambaan. Ialah ikhlas, semurni amal serta menunjukkan seluruh
keberagaman di hati, lisan, maupun perbuatan hanya untuk Allah SWT semata.
Wallahu ‘alam bishowab