Dinamika
kehidupan selalu tak mampu ditebak, sillih berganti, tak akan selamanya lurus
dilalui tanpa hambatan. Maka, bila kehidupan layaknya arus listrik pada sebuah
kawat, dalam sebuah teori fisika tentang arus listrik,
hambatan adalah komponen yang diperhitungkan dan memiliki nilai untuk memperoleh suatu daya. Ya, disebabkan daya tersebut
hambatan adalah komponen yang diperhitungkan dan memiliki nilai untuk memperoleh suatu daya. Ya, disebabkan daya tersebut
berbanding lurus dengan hambatan pada sebuah arus
listrik, maka bila menginginkan suatu daya yang besar, hambatan adalah satu
unsur yang sangat diperlukan dan sangat menentukkan. Begitulah sketsa
sederhana, tentang realita arus kehidupan yang manusia lewati dalam setiap
perjalanannya. Bahwa ujian adalah bagian dari hambatan dan kerikil dalam
kehidupan yang sangat dibutuhkan dalam menentukkan seberapa besar daya kehidupan
seseorang akan dihasilkan. Adanya sebuah ukuran kapasitas kehidupan takkan bisa
terukur tanpa melewati sebuah hambatan. Layaknya kerang yang mampu menghasilkan
mutiara ketika ia mampu menahan rasa sakit saat terselip butir pasir, begitu
pula dengan lahirnya kesempurnaan sayap kupu-kupu ketika ia mampu merobek celah
kepompong yang mengisolir. Seringkali manusia perlu diuji untuk menemukan
sebuah titik balik yang akan menjadi sebuah lompatan yang mampu melampaui
keterbatasan yang memenjarai dirinya, sekaligus dijadikannya sebuah proses
pembelajaran dalam meningkatkan kualitas diri yang mereka miliki.
Ialah
Allah SWT memilih dari sekian banyak hamba-hambaNya yang beriman menjadi
segelintir diantara mereka yang memiliki keistimewaan di sisinya setelah
melalui sebuah ujian. Dalam firman-Nya, Allah SWT mengatakan:
“Apakah manusia mengira bahwa mereka
akan dibiarkan hanya dengan mengatakan ,”Kami telah beriman, dan mereka tidak
diuji?” Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah
pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang
dusta.” (QS. Al-Ankabut : 2-3).
Maka,
semakin besar kadar keimanan seseorang, tak menuntut ujian yang dihadapi akan
semakin kecil, ialah sebaliknya, semakin besar nilai kualitas diri seseorang
maka ujian yang dihadapi akan semakin rumit, sebab hal itu menuntut dirinya
untuk senantiasa menjadi lebih baik.
Maka,
ujian akan menemukan ranahnya masing-masing dalam mengenal objek mana yang akan
dia uji. Ketika masing-masing manusia menjalani kehidupan dengan ujiannya
masing-masing, pun dalam hidup berjama’ah. Layaknya kondisi ummat Islam ketika
di masa lalu berada dalam tonggak kekuasaan dan kemenangan, ujian datang silih
berganti menguji keistiqomahan kaum muslimin dalam menjaga peran Allah SWT dalam
setiap keadaan. Menjalankan ketaatan tanpa terpengaruh rayuan duniawi yang
melenakan. Menjaga egoisme masing-masing pribadi dengan menjadikan kepentingan
ummat adalah hal utama yang patut didahulukan. Maka, ketika diri tak mampu
menahan getirnya ujian yang menghanyutkan, ialah Allah SWT putar balikan
kemenangan menjadi kekalahan, dan kekuasaan menjadi keterpurukan, agar
menjadikan ummat ini tersadar akan berbagai macam kehilafan dan kekeliruan
dalam manapaki jalan pendakian. Dan tak akan menjadi buruk segala bentuk
kekeliruan, karena letak penciptaan terbaik bukan berarti luput dari kesalahan,
namun kemampuan bangkit dari tiap kesalahan dan menjadikannya pembelajaran.
Wallahu ‘alam Bishowab
Zulfa Nabilah
No comments:
Post a Comment