Monday, April 3, 2017

Unsur Hambatan dalam Sebuah Daya

Dinamika kehidupan selalu tak mampu ditebak, sillih berganti, tak akan selamanya lurus dilalui tanpa hambatan. Maka, bila kehidupan layaknya arus listrik pada sebuah kawat, dalam sebuah teori fisika tentang arus listrik,
hambatan adalah komponen yang diperhitungkan dan memiliki nilai untuk memperoleh suatu daya. Ya, disebabkan daya tersebut
berbanding lurus dengan hambatan pada sebuah arus listrik, maka bila menginginkan suatu daya yang besar, hambatan adalah satu unsur yang sangat diperlukan dan sangat menentukkan. Begitulah sketsa sederhana, tentang realita arus kehidupan yang manusia lewati dalam setiap perjalanannya.  Bahwa ujian adalah bagian dari hambatan dan kerikil dalam kehidupan yang sangat dibutuhkan dalam menentukkan seberapa besar daya kehidupan seseorang akan dihasilkan. Adanya sebuah ukuran kapasitas kehidupan takkan bisa terukur tanpa melewati sebuah hambatan. Layaknya kerang yang mampu menghasilkan mutiara ketika ia mampu menahan rasa sakit saat terselip butir pasir, begitu pula dengan lahirnya kesempurnaan sayap kupu-kupu ketika ia mampu merobek celah kepompong yang mengisolir. Seringkali manusia perlu diuji untuk menemukan sebuah titik balik yang akan menjadi sebuah lompatan yang mampu melampaui keterbatasan yang memenjarai dirinya, sekaligus dijadikannya sebuah proses pembelajaran dalam meningkatkan kualitas diri yang mereka miliki.

Ialah Allah SWT memilih dari sekian banyak hamba-hambaNya yang beriman menjadi segelintir diantara mereka yang memiliki keistimewaan di sisinya setelah melalui sebuah ujian. Dalam firman-Nya, Allah SWT mengatakan:



“Apakah manusia mengira bahwa mereka akan dibiarkan hanya dengan mengatakan ,”Kami telah beriman, dan mereka tidak diuji?” Dan sungguh Kami telah menguji orang-orang sebelum mereka, maka Allah pasti mengetahui orang-orang yang benar dan pasti mengetahui orang-orang yang dusta.” (QS. Al-Ankabut : 2-3).

Maka, semakin besar kadar keimanan seseorang, tak menuntut ujian yang dihadapi akan semakin kecil, ialah sebaliknya, semakin besar nilai kualitas diri seseorang maka ujian yang dihadapi akan semakin rumit, sebab hal itu menuntut dirinya untuk senantiasa menjadi lebih baik.

Maka, ujian akan menemukan ranahnya masing-masing dalam mengenal objek mana yang akan dia uji. Ketika masing-masing manusia menjalani kehidupan dengan ujiannya masing-masing, pun dalam hidup berjama’ah. Layaknya kondisi ummat Islam ketika di masa lalu berada dalam tonggak kekuasaan dan kemenangan, ujian datang silih berganti menguji keistiqomahan kaum muslimin dalam menjaga peran Allah SWT dalam setiap keadaan. Menjalankan ketaatan tanpa terpengaruh rayuan duniawi yang melenakan. Menjaga egoisme masing-masing pribadi dengan menjadikan kepentingan ummat adalah hal utama yang patut didahulukan. Maka, ketika diri tak mampu menahan getirnya ujian yang menghanyutkan, ialah Allah SWT putar balikan kemenangan menjadi kekalahan, dan kekuasaan menjadi keterpurukan, agar menjadikan ummat ini tersadar akan berbagai macam kehilafan dan kekeliruan dalam manapaki jalan pendakian. Dan tak akan menjadi buruk segala bentuk kekeliruan, karena letak penciptaan terbaik bukan berarti luput dari kesalahan, namun kemampuan bangkit dari tiap kesalahan dan menjadikannya pembelajaran.
Wallahu ‘alam Bishowab

Zulfa Nabilah

                                         

No comments:

Post a Comment