Monday, October 30, 2017

Harta Halal di Tangan Orang Shaleh adalah Pondasi Kehidupan (Pemikiran Imam Hasan al-Banna tentang Ekonomi)



 (Pemikiran Imam Hasan al-Banna tentang Ekonomi)

Dalam kitab “Majmu’ah Rasa’il” Imam al-Banna menyebutkan prinsip-prinsip yang penting terkait dengan ekonomi. Hal ini dapat menjadi pegangan dan panduan bagi para aktivis dakwah dalam kegiatan ekonomi. Prinsip pertama adalah bahwa harta yang halal merupakan pondasi kehidupan yang ideal dan harmonis. Oleh karena itu, setiap orang shaleh harus mengejar harta halal tersebut kemudian berusaha memelihara dan mengembangkannya.

Islam menurut Imam Syahid adalah agama yang memuji adanya harta yang halal dan baik. Islam juga memuliakan orang kaya yang pandai bersyukur sehingga hartanya yang melimpah tersebut dapat digunakan untuk kemaslahatan orang banyak demi meraih ridha Allah. Adanya nilai zuhud dalam Islam, tidak menunjukkan bahwa Islam memerintahkan seorang Muslim untuk hidup dalam kefakiran dan kemiskinan. Zuhud dan kemiskinan adalah
dua hal yang berbeda. Berikut ini beberapa hal tentang zuhud yang perlu dijadikan sebagai pegangan.Pertama, Zuhud dalam Islam bukanlah perintah yang mendorong seorang Muslim untuk menghina dan membenci dunia, harta, dan kekayaan. Bahkan dalam hadits riwayat Imam Muslim, Rasulullah pernah mendoakan Anas ibn Malik agar menjadi orang kaya yang memiliki harta banyak. Doa tersebut berbunyi:

اللّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وبَارِكْ لَهُ فِيهِ.
“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya, serta berikanlah baginya keberkahan di dalamnya.”

Tentu saja Rasulullah selalu mendoakan yang baik untuk para sahabatnya. Doa yang dipanjatkan tersebut mengisyaratkan bahwa memiliki harta yang banyak bukanlah sesuatu yang buruk. Harta yang banyak di tangan seorang sahabat menjadi harapan baik Rasulullah, mengingat para sahabat adalah representasi orang-orang shaleh yang menjadi generasi terbaik.

Kedua, Zuhud yang dimaksudkan dalam Islam adalah karakter positif agar seorang Muslim tidak larut dan tenggelam dalam kesenangan harta yang menyesatkan. Harta yang dimiliki seorang Muslim hendaknya tidak membuat ia lupa kepada Allah, sebagaimana Allah sebutkan dalam surat al-Munafiqun ayat 9.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تُلْهِكُمْ أَمْوَالُكُمْ وَلَا أَوْلَادُكُمْ عَنْ ذِكْرِ اللَّهِ ۚ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَٰلِكَ فَأُولَٰئِكَ هُمُ الْخَاسِرُونَ.
“Hai orang-orang beriman, janganlah hartamu dan anak-anakmu melalaikan kamu
dari mengingat Allah. Barangsiapa yang berbuat demikian maka mereka itulah orang-orang yang merugi.”

Pada awalnya harta adalah sesuatu yang netral. Harta tidak identik dengan keburukan. Ayat di atas menjelaskan bahwa harta menjadi tidak baik jika melalaikan pemiliknya dari Allah. Sebaliknuya, harta justru menjadi sesuatu yang baik pada diri seseorang jika tidak membuatnya lalai dari Allah. Bahkan harta menjadi sesuatu yang istimewa jika dengannya seseorang menjadi semakin tunduk kepada Allah sebagai perwujudan syukur atas anugerah harta berlimpah yang ia terima.

Ketiga, Zuhud dalam Islam ditujukan untuk mengarahkan seorang Muslim agar tidak menghamburkan hartanya untuk hal-hal yang tidak bermanfaat apalagi untuk kemaksiatan kepada Allah. Zuhud adalah sikap seorang Muslim yang menggunakan harta untuk hal-hal yang bermanfaat saja.

Harta yang banyak pada diri seorang Muslim merupakan sesuatu kebaikan dalam Islam. Dalam hadits riwayat Imam Ahmad, Rasulullah bersabda:

نِعْم اَلمَالُ الصَّالِحُ للرَّجُلِ الصَّالِحِ.
“Sebaik-baik harta adalah harta yang halal yang di tangan orang yang shaleh”.

Hadits tersebut menjelaskan bahwa harta terbaik adalah harta di tangan orang yang shaleh, karena ia akan selalu menggunakan hartanya dengan baik. Orang shaleh mengikuti petunjuk Rasulullah untuk memastikan bahwa hartanya diperoleh dengan baik kemudian juga dibelanjakan untuk hal yang baik. Hal tersebut mengacu kepada hadits Rasululullah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi yang berbunyi:

لاَ تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ: عَنْ عُمْرِهِ فِيْمَ أَفْنَاهُ, وَعَنْ عِلْمِهِ مَا فَعَلَ بِهِ, وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَ أَنْفَقَهُ, وَعَنْ جِسْمِهِ فِيْمَ أَبْلاَهُ.
“Tidak bergeser kaki seorang hamba sehingga ia akan ditanya tentang empat perkara (yaitu):(1) Tentang umurnya untuk apa ia habiskan?; (2) Tentang ilmunya untuk apa ia amalkan?; (3)Tentang hartanya darimana ia dapatkan dan kemana ia belanjakan?; dan  (4) Tentang badannya untuk apa ia gunakan?
Kedua pertanyaan terkait dengan harta menunjukkan bahwa Islam memperhatikan dari hulu ke hilirnya. Harta akan dipertanyakan asal-muasalnya dan juga tujuan penggunaan tersebut. Inilah prinsip Islam yang sangat jelas, sehingga Islam tidak mentolerir adanya kebaikan yang dilakukan dengan harta haram, atau keburukan yang bermodalkan harta halal. Islam menginginkan adanya kebaikan dalam cara dan tujuan.
Dalam surat an-Nisa’ ayat 5, Allah berfirman:

وَلَا تُؤْتُوا السُّفَهَاءَ أَمْوَالَكُمُ الَّتِي جَعَلَ اللَّهُ لَكُمْ قِيَامًا.
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan.”
Harta yang baik di tangan orang shaleh, tidak boleh dihamburkan begitu saja. Setiap orang harus memastikan bahwa hartanya diberikan kepada orang yang mampu memanfaatkannya secara optimal. Bahkan dalam ayat di atas (surat an-Nisa’: 5), seorang Muslim diperintahkan untuk tidak memberikan harta milik orang yang bodoh, jika ia dianggap tidak mampu menggunakan hartanya dengan baik.
Lebih dari itu dalam salah satu hadits yang diriwayatkan Imam Tirmidzi, Islam memuliakan orang-orang yang meninggal dunia saat melindungi hartanya dengan “syahid hukmi”, sebagaimana sabda Rasululullah yang berbunyi:

مَنْ قُتِلَ دُونَ مَالِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دِينِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ دَمِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ وَمَنْ قُتِلَ دُونَ أَهْلِهِ فَهُوَ شَهِيدٌ قَالَ هَذَا حَدِيثٌ حَسَنٌ صَحِيحٌ وَهَكَذَا رَوَى غَيْرُ وَاحِدٍ عَنْ إِبْرَاهِيمَ بْنِ سَعْدٍ نَحْوَ هَذَا وَيَعْقُوبُ هُوَ ابْنُ إبرَاهِيمَ بنِ سَعْدِ بنِ إبرَاهِيمَ بنِ عَبدِ الرحمنِ بنِ عَوْفٍ الزُّهْرِيُّ
“Barangsiapa yang terbunuh karena membela hartanya maka ia syahid, barangsiapa yg terbunuh karena membela agamanya maka ia syahid, barangsiapa yang terbunuh karena membela darahnya (jiwanya) maka ia syahid dan barangsiapa yang terbunuh karena membela keluarganya maka ia syahid.”
Hal senada disebutkan dalam hadits riwayat Imam Muslim ketika Rasulullah bersabda:

عَنْ أَبِي هُرَيرَةَ رَضِيَ اللهُ عنهُ قَالَ: جَاءَ رَجلٌ إِلى رَسَولِ اللهِ صلَّى اللهُ علَيهِ وسلَّمَ فقَالَ: يَا رسولَ اللهِ أَرأَيْتَ إِنْ جَاءَ رجلٌ يُرِيدُ أَخْذَ مَالِي, قَال: فَلَا تُعطِهِ مَالَك, قال: أَرأَيتَ إن قَاتلَنِي, قَال قَاتِلْه قال: أرأيت إن قَتَلَنِي, قَال: فَأَنتَ شَهِيدٌ, قَال: أَرأيتَ إِن قَتلتُهُ, قَال: هُوَ فِي النَّارِ.
Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu berkata: Datang seseorang kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, ia berkata, “Wahai Rasulullah, apa pendapatmu bila datang seseorang ingin mengambil hartaku?” Beliau menjawab, “Jangan engkau berikan hartamu.” Ia bertanya lagi, “Apa pendapatmu jika orang itu menyerangku?” “Engkau melawannya,” jawab beliau. “Apa pendapatmu bila ia berhasil membunuhku?” tanya orang itu lagi. Beliau menjawab, “Kalau begitu engkau syahid.” “Apa pendapatmu jika aku yang membunuhnya?” tanya orang tersebut. “Ia di neraka,” jawab beliau. (HR. Muslim)

Dari berbagai penjelasan di atas, dapat diketahui bahwa Islam adalah agama yang mendorong umatnya untuk memiliki harta yang banyak. Harta banyak yang dimililiki oleh orang yang taat kepada Allah, maka akan membawa banyak kemasalahtan dalam kehidupan. Aktivitas ekonomi dengan berbagai variannya, merupakan media utama untuk mendapatkan harta tersebut. Oleh karena orang-orang yang shaleh (terlebih orang-orang yang mushlih, yang ingin mengajak orang lain melakukan kebaikan) diharuskan untuk terjun dengan sungguh-sungguh dalam kegiatan ekonomi yang akan memudahkan terciptanya kehidupan dunia yang baik. Semoga Allah berikan harta yang banyak kepada para aktivitas dakwah!

Oleh, Dr. Abdul Ghoni, M.Hum.

No comments:

Post a Comment