Tuesday, February 7, 2017

Ada Jurang di Tepi Kebebasan



"Anak menangis kehilangan bapa
Tanah sepi kehilangan lelakinya
Bukannya benih yang disebar di bumi subur ini
tapi bangkai dan wajah mati yang sia-sia"

Ini adalah penggalan puisi WS. Rendra tahun 1995. Telah lewat beberapa puluh tahun gambaran bait puisi ini. Gambaran pilu negeri kita dulu. Gambaran kehidupan yang memaksa melahirkan anak anak zamannya semisal Patimura juga Pangeran Dipenogoro. Mereka dan yang semisalnya lahir untuk merubah kehidupan yg ada pada waktu itu. Menuju ketenangan hidup, hidup beragama juga hidup bernegara.

Adalah nyata. Jiwa mereka adalah jiwa zamannya. Dan kita sadari zaman kita telah melahirkan dan membentuk jiwa yg entah apa akan kita definisikan. Jiwa yang enggan bergerak. Karna merasa hidup tenang, telah bernaung dari panasnya konflik dan hujan peperangan di dalam istana kebebasan.

Konflik dan perang memang telah merangsang pertumbuhan jiwa kesatria untuk berjuang membela hidupnya. Merebut kembali ketenangan yang telah diambil. Tapi kebebasan dan kesejahteraan hidup, apakah ia dicipta untuk membentuk jiwa yang cenderung diam? Bersenang ria diam di bawah naungannya?

" Dan masa (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan diantara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan supaya Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) supaya sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada". (Ali Imran : 140)

Dua sisi kehidupan yang Alloh ciptakan ini adalah nyata. Dia menjadikannya untuk membedakan siapa yang bisa memanfaatkan momen tersebut atau tidak untuk menuju kejayaan yang abadi. Kholidiina fiihaa.

Kita hidup dalam kondisi tenang. Tapi suatu saat pasti kita akan berada dalam kondisi seram dan mengancam. Tidak perlu ditakuti, yang harus paling kita khawatirkan adalah ketika kondisi itu datang, kita tidak punya cukup ruang dan waktu melatih jiwa kita.

Inilah, bersama tulisan ini aku panjatkan doa supaya engkau juga bisa berdoa untukku. "Agar semoga Alloh segera menyadarkan kita kepada hal yang akan menyelamatkan kita". Karna kata WS Rendra, melanjutkan bait puisinya :

"Malam dan wajahku adalah satu warna
Dosa dan nafasku adalah satu udara.
Tak ada lagi pilihan kecuali menyadari
-biarpun bersama penyesalan-"

Hamdan

No comments:

Post a Comment