Kadang dalam keseharian muncul pertanyaan, kenapa ada orang yang
baik tetapi kehidupannya pas-pasan sementara ada orang yang tidak taat dalam
beragama akan tetapi kehidupannya penuh kesuksesan dan kemudahan. Dalam
menjawab permasalahan ini, mari kita renungkan pesan Allah dalam surat al-Fajr
ayat 15-16:
فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ
فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ #
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي
أَهَانَنِ #
“Adapun manusia
apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan,
Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya
mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“.
(QS. Al Fajr: 15-16)
Munculnya pertanyaan di atas menunjukkan adanya persepsi yang
keliru pada diri kita dalam memaknai perjalanan hidup. Persepsi yang keliru
mengakibatkan seseorang salah dalam bersikap. Di antara kekeliruan persepsi itu
adalah prasangka manusia dalam dua hal. Hal pertama adalah persepsi manusia
ketika ia sedang mendapatkan kenikmatan dan kemuliaan, kemudian muncul perasaan
bahwa Allah sedang memuliakannya. Persepsi kedua yang keliru adalah bahwa
ketika seseorang sedang diberikan ujian dalam hidup, kemudian ia merasa bahwa
Allah sedang menghinakannya. Allah menegaskan bahwa kedua persepsi dan perasaan
itu keliru.
Tanda cinta Allah kepada seseorang tidak bisa diukur dengan
fenomena keduniaan yang sedang dijalaninya. Kesenangan hidup yang ada pada diri
seseorang bukan tanda cinta Allah, begitupun kesulitan hidup pada diri sisi
orang bukan tanda kebencian Allah kepadanya. Kecintaan dan kebencian Allah
tidak berhubungan dengan realitas hidup yang sedang dijalani seseorang.
Kemuliaan bisa menjadi tanda cinta atau tanda kebencian Allah, begitu pula
dengan kesulitan hidup bisa sekaligus menjadi tanda cinta dan tanda kebencian
Allah.
Jataban yang tinggi dan kekuasaan politik yang besar pada diri
Fir’aun justru menjadi jalan kehinaannya di sisi Allah. Allah memberikan
jabatan kepada Fir’aun bukan sebagai tanda cinta-Nya. Kekuasaan di tangan
Fir’aun akhirnya berujung pada puncak kezhaliman ketika ia mendeklarasikan
dirinya sebagai tuhan, sebagaimana diabadikan dalam surat an-Nazi’at: 79:
فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“Maka Fir’aun
berkata: akulah tuhan kalian yang maha tinggi”.
Dalam
surat al-Qashash ayat 38:
وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ
غَيْرِي
Dan Fir’aun
berkata; “wahai pengikutku, aku tidak mengetahui tuhan yang lain selain
diriku”.
Sama halnya dengan kekayaan melimpah yang Allah berikan kepada
Qarun, bukan sebagai tanda cinta-Nya. Kekayaan tersebut justru menjadi jalan
kehinaan Qarun, sehingga ia dengan penuh kesombongannya mengatakan;
قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي
Qarun berkata;
“bahwasanya diberikannya kepadaku harta yang berlimpah karena ilmu yang aku
miliki”
Kisah Fir’aun
dan Qarun patut menjadi penguat bagi kita bahwa kenikmatan dunia tidak
berpretensi bahwa Allah sedang mencintai keduanya. Bahkan untuk menguatkan
kelirunya persepsi tersebut, Allah membuktikannya segera dalam akhir cerita
kehidupan keduanya, ketika Fir’aun ditenggelemkan di dalam laut dan Qarun
bersama hartanya ditelan oleh bumi.
Begitupun seseorang yang dalam hidupnya penuh dengan ujian dan
tantangan, hal itu tidak menunjukkan bahwa Allah sedang membencinya. Ujian
berupa penyakit yang Allah berikan kepada nabi Ayyub, peristiwa meninggalnya
anak-anak Rasulullah pada usia yang masih kecil, dan berbagai cobaan yang
menimpa seseorang tidak terkait dengan kebencian Allah kepadanya. Justru
sebaliknya, ujian dan cobaan itu menuntun manusia untuk selalu mengadu dan
lebih mendekat kepada Allah.
Oleh karena itu orang yang beriman perlu menyelaraskan antara
persepsinya dan hakikat kebenaran yang Allah sampaikan dalam al-Qur’an.
Berbagai keterbatasan yang dimiliki manusia sangat mungkin menuntun mereka pada
pemahaman yang keliru, oleh karena itu manusia memerlukan al-Qur’an agar
pemahaman yang keliru tersebut dapat diluruskan dan diperbaiki. Kesiapan dan
kelapangan dada menerima al-Qur’an secara mutlak adalah anugerah Allah kepada
manusia agar mengetahui yang hakiki dalam hidup ini.
Penulis:
DR. Abdul Ghoni, M.Hum.
No comments:
Post a Comment