Thursday, February 2, 2017

Kesenangan bukan Tanda Cinta dan Kesulitan bukan Tanda Benci



Kadang dalam keseharian muncul pertanyaan, kenapa ada orang yang baik tetapi kehidupannya pas-pasan sementara ada orang yang tidak taat dalam beragama akan tetapi kehidupannya penuh kesuksesan dan kemudahan. Dalam menjawab permasalahan ini, mari kita renungkan pesan Allah dalam surat al-Fajr ayat 15-16:

فَأَمَّا الْإِنسَانُ إِذَا مَا ابْتَلَاهُ رَبُّهُ فَأَكْرَمَهُ وَنَعَّمَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَكْرَمَنِ  #
وَأَمَّا إِذَا مَا ابْتَلَاهُ فَقَدَرَ عَلَيْهِ رِزْقَهُ فَيَقُولُ رَبِّي أَهَانَنِ  #


“Adapun manusia apabila Tuhannya mengujinya lalu Dia dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan, Maka Dia akan berkata: “Tuhanku telah memuliakanku”. Adapun bila Tuhannya mengujinya lalu membatasi rizkinya Maka Dia berkata: “Tuhanku menghinakanku“. (QS. Al Fajr: 15-16)
Munculnya pertanyaan di atas menunjukkan adanya persepsi yang keliru pada diri kita dalam memaknai perjalanan hidup. Persepsi yang keliru mengakibatkan seseorang salah dalam bersikap. Di antara kekeliruan persepsi itu adalah prasangka manusia dalam dua hal. Hal pertama adalah persepsi manusia ketika ia sedang mendapatkan kenikmatan dan kemuliaan, kemudian muncul perasaan bahwa Allah sedang memuliakannya. Persepsi kedua yang keliru adalah bahwa ketika seseorang sedang diberikan ujian dalam hidup, kemudian ia merasa bahwa Allah sedang menghinakannya. Allah menegaskan bahwa kedua persepsi dan perasaan itu keliru.
Tanda cinta Allah kepada seseorang tidak bisa diukur dengan fenomena keduniaan yang sedang dijalaninya. Kesenangan hidup yang ada pada diri seseorang bukan tanda cinta Allah, begitupun kesulitan hidup pada diri sisi orang bukan tanda kebencian Allah kepadanya. Kecintaan dan kebencian Allah tidak berhubungan dengan realitas hidup yang sedang dijalani seseorang. Kemuliaan bisa menjadi tanda cinta atau tanda kebencian Allah, begitu pula dengan kesulitan hidup bisa sekaligus menjadi tanda cinta dan tanda kebencian Allah.
Jataban yang tinggi dan kekuasaan politik yang besar pada diri Fir’aun justru menjadi jalan kehinaannya di sisi Allah. Allah memberikan jabatan kepada Fir’aun bukan sebagai tanda cinta-Nya. Kekuasaan di tangan Fir’aun akhirnya berujung pada puncak kezhaliman ketika ia mendeklarasikan dirinya sebagai tuhan, sebagaimana diabadikan dalam surat an-Nazi’at: 79:

فَقَالَ أَنَا رَبُّكُمُ الْأَعْلَىٰ
“Maka Fir’aun berkata: akulah tuhan kalian yang maha tinggi”.

Dalam surat al-Qashash ayat 38: 

وَقَالَ فِرْعَوْنُ يَا أَيُّهَا الْمَلَأُ مَا عَلِمْتُ لَكُم مِّنْ إِلَٰهٍ غَيْرِي
Dan Fir’aun berkata; “wahai pengikutku, aku tidak mengetahui tuhan yang lain selain diriku”.

Sama halnya dengan kekayaan melimpah yang Allah berikan kepada Qarun, bukan sebagai tanda cinta-Nya. Kekayaan tersebut justru menjadi jalan kehinaan Qarun, sehingga ia dengan penuh kesombongannya mengatakan;

قَالَ إِنَّمَا أُوتِيتُهُ عَلَىٰ عِلْمٍ عِندِي
Qarun berkata; “bahwasanya diberikannya kepadaku harta yang berlimpah karena ilmu yang aku miliki”

Kisah Fir’aun dan Qarun patut menjadi penguat bagi kita bahwa kenikmatan dunia tidak berpretensi bahwa Allah sedang mencintai keduanya. Bahkan untuk menguatkan kelirunya persepsi tersebut, Allah membuktikannya segera dalam akhir cerita kehidupan keduanya, ketika Fir’aun ditenggelemkan di dalam laut dan Qarun bersama hartanya ditelan oleh bumi.
Begitupun seseorang yang dalam hidupnya penuh dengan ujian dan tantangan, hal itu tidak menunjukkan bahwa Allah sedang membencinya. Ujian berupa penyakit yang Allah berikan kepada nabi Ayyub, peristiwa meninggalnya anak-anak Rasulullah pada usia yang masih kecil, dan berbagai cobaan yang menimpa seseorang tidak terkait dengan kebencian Allah kepadanya. Justru sebaliknya, ujian dan cobaan itu menuntun manusia untuk selalu mengadu dan lebih mendekat kepada Allah.
Oleh karena itu orang yang beriman perlu menyelaraskan antara persepsinya dan hakikat kebenaran yang Allah sampaikan dalam al-Qur’an. Berbagai keterbatasan yang dimiliki manusia sangat mungkin menuntun mereka pada pemahaman yang keliru, oleh karena itu manusia memerlukan al-Qur’an agar pemahaman yang keliru tersebut dapat diluruskan dan diperbaiki. Kesiapan dan kelapangan dada menerima al-Qur’an secara mutlak adalah anugerah Allah kepada manusia agar mengetahui yang hakiki dalam hidup ini.


 Penulis:
DR. Abdul Ghoni, M.Hum.

No comments:

Post a Comment