Ketika kita melihat sebuah lukisan yang indah di pameran, maka kita
akan berdecak kagum kemudian kita akan bertanya siapa gerangan pelukisnya.
Setelah kita mengetahui sang pelukis itu, maka kita akan memuji dan selalu
mengingatnya sebagai seorang maestro. Begitu pun ketika kita melihat sebuah
bangunan indah yang menjulang tinggi, bangunan masjid yang luas tanpa tiang di
tengahnya, maka kita akan terheran-heran kemudian mengagumi pembuat bangunan
tersebut.
Begitu pulalah Islam mengajarkan kita, agar ketika melihat semua
yang ada di depan kita kemudian kita melakukan refleksi, perenungan dengan daya
akal yang menjadi kelebihan kita, untuk terus-menerus berpikir hingga kita
menemukan betapa agungnya Allah SWT. Pada hakekatnya semua yang kita lihat,
kita dengar, kita rasakan mengajak kita mengenal Allah SWT. Di sinilah letak
pertarungan antara seorang Muslim dan seorang atheis. Seorang atheis ketika
mengagungkan sesuatu, maka ia berhenti di situ dan tidak sampai membawanya
mengenal Allah.
Di dalam surat al-Ghasyiyah: 17
أَفَلَا يَنظُرُونَ إِلَى الْإِبِلِ كَيْفَ خُلِقَتْ
Tidakkah kamu
pikirkan bagaimana Allah menciptakan unta?
Unta adalah representasi dari binatang yang hidup sederhana tetapi
memiliki manfaat yang luar biasa dalam kehidupan manusia. Unta adalah hewan
yang dapat berjalan di perjalanan yang jauh. Ingat ketika Nabi dan para sahabat
melakukan Hijrah dari Mekkah ke Madinah, kendaraan utamanya adalah Unta. Jarak
kedua kota tersebut adalah 450 km. Jazirah Arab juga identik dengan padang
pasir yang panas, jauh dari tempat tinggal penduduk. Unta memliki daya tahan
yang luar biasa untuk menahan lapar dan haus. Dari sisi ini, manusia tidak
sebanding dengan Unta sekalipun.
Pada
ayat berikutnya, surat al-Ghasyiyah: 18 Allah mengingatkan,
Tidakkah kamu
pikirkan bagaimana Allah meninggikan langit?
Langit berdiri tegak tanpa tiang sedikitpun. Pada skala kita, jelas
semakin besar dan lebar sebuah bangunan membutuhkan tiang yang semakin banyak
agar dapat berdiri kokoh.
Di dalam ayat lain, Allah menciptakan langit sebagai atap bumi,
sebagaimana termaktub dalam surat al-Anbiya’: 32 yang berbunyi:
وَجَعَلْنَا السَّمَاءَ سَقْفًا مَحْفُوظًا وَهُمْ عَنْ آَيَاتِهَا
مُعْرِضُونَ
“Dan kami
menjadikan langit sebagai atap yang terpelihara, namun mereka tetap berpaling
dari tanda-tanda (kebesaran Allah) itu (matahari, bulan, angin, awan, dan
lain-lain)”
Jadi salah satu fungsi langit adalah sebagai pelindung bumi kita
dari berbagai ancaman. Para ilmuwan menyebutkan bahwa matahari memiliki jutaan
zat berbahaya setiap detiknya, akan tetapi semuanya terlindungi oleh langit
sehingga tidak sampai ke bumi. Begitupun dengan meteor, asteroid, dan lain
sebagainya.
Pada surat al-Ghasyiyah: 19, Allah menyebutkan,
Tidakkah kamu
memikirkan bagaimana gunung ditancapkan ke bumi?
Gunung adalah representasi dari bangunan yang paling kokoh di bumi. Gunung adalah tiang dari bumi ini. Ketika ada gejolak di bumi, maka tidak ada efeknya bagi gunung. Sebaliknya ketika gunung mengeluarkan sedikit saja dari isi permukaannya maka bumi pun berguncang. Akan tetapi gunung yang kokoh ini pada akhirnya di hari kiamat seperti bulu yang beterbangan. Bisa dibayangkan jika gunung sebagai ciptaan Allah yang paling kokoh berterbangan, maka di mana kita manusia? Di mana Indonesia, di mana Jawa Barat, di mana Bogor, dan di mana Gunungsindur, serta di mana diri kita?
Selanjutanya pada surat al-Ghasyiyah: 20, Allah berfirman
“Dan bumi
bagaimana dihamparkan”
Ayat tersebut memerintahkan kita untuk memikirkan bagaimana bumi
ini dihamparkan. Bumi ini berbentuk bulat, tetapi dalam perjalanannya kita
merasakan bahwa bumi ini datar. Bumi ini bulat tidak terasa bulatnya. Bumi ini
berputar tetapi tidak terasa putarannya. Bumi juga Allah ciptakan tidak terlalu
lunak dan tidak terlalu keras. Jika bumi terlalu lunak, maka kita tidak bisa
membangun rumah dan bangunan bertingkat di atasnya. Bumi ini kokoh untuk
memikul beban berat segala yang ada di atasnya. Bumi ini juga tidak terlalu keras,
sehingga kita masih bisa menanam berbagai jenis tumbuhan di atasnya. Bumi ini
memberikan ruang bagi kacang atau biji untuk bisa terbelah kemudian tumbuh dan
berkembang.
Kemudian rangkaian ayat ditutup dengan kalimat:
“Maka
ingatkanlah (wahai Rasulullah), sesungguhnya engkau sebagai pengingat!”.
Begitulah Allah memerintahkan kepada Rasulullah untuk mengingatkan
seluruh manusia agar menggunakan akalnya untuk berpikir. Dari aktivitas
berpikir itu kemudian manusia akan menemukan dan merasakan keagungan Allah dan
kesempurnaan ciptaannya.
Unta yang disebutkan dalam surat al-Ghasyiyah: 17 adalah
representasi dari perintah Allah untuk memikirkan seluruh binatang yang Allah
ciptakan. Binatang yang paling besar seperti gajah, hingga yang terkecil
seperti mikroba. Dari binatang yang berjalan dengan 4 kaki, 2 kaki, hingga
binatang yang berjalan melata dengan perutnya. Dari fenomena unta lahir
berbagai disiplin ilmu seperti zoology, kedokteran hewan, biologi, dan lain
sebagainya.
Langit disebutkan sebagai representasi dari dunia luar angkasa
dengan segala pernak-perniknya. Dari langit, lahir berbagai disiplin ilmu
seperti; astronomi, Gunung dan Bumi disebutkan sebagai representasi dari
seluruh kekayaan alam yang kita hidup di atasnya saat ini. Dari fenomena gunung
dan bumi lahir pula berbagai disiplin ilmu seperti; sosiologi, geologi,
geografi, antropologi, sejarah, dan lain sebagainya. Semua ilmu ini pada
hakekatnya adalah media untuk tanda-tanda kebesaran Allah dan akan membawa
setiap orang mengenal kebesaran dan keagungan-Nya. Pada saat yang sama tumbuh
kesadaran bahwa betapa kecilnya diri kita, manusia. Kita kecil di hadapan ciptaan
Allah yang lain, apalagi di hadapan Allah yang Maha Pencipta semuanya.
Semua perintah Allah untuk memikirkan ciptaan-Nya, kemudian terbagi
menjadi berbagai disiplin ilmu yang terus semakin banyak. Pada akhirnya kita
dapat menyimpulkan bahwa semua ilmu yang dipelajari seseorang, akan membawanya
semakin dekat dan makin tunduk kepada Allah. Ilmu seperti inilah yang disebut
dengan ilmu yang bermanfaat, karena membawa pemiliknya untuk mengenal Allah
Pemilik Hakiki dari seluruh alam jagat raya yang luas ini. Bagi para
pemikir yang menjadikan ilmunya sebagai wasilah mengenal kebesaran Allah,
itulah yang mendapatkan gelar sejati dari Allah dengan sebutan “Ulul Albab”,
sebagaimana dijelaskan dalam surat Ali Imran: 190.
Oleh: DR. Abdul Ghoni, M.Hum.
No comments:
Post a Comment