Ada ungkapan sederhana yang perlu mendapatkan perhatian. Ungkapan
tersebut berbunyi; “jangankan mencari rezeki yang halal, mencari yang haram
saja susah!”. Sekilas pernyataan
tersebut logis dan bisa diterima. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, ungkapan
tersebut merapuhkan sendi-sendi nilai kemanusiaan universal.
Perlu dilihat bagaimana Islam membingkai umatnya agar tidakt
terjerembab dalam slogan yang keliru. Islam sejak 1400 tahun lebih yang lalu
telah mengarahkan bagaimana proses konsumsi seorang Muslim?
Allah sudah memberikan wasiat kepada Rasul agar dapat mengontrol
pola konsuminya yang kemudian hal itu juga menjadi wasiat bagi seluruh umat
Islam. Hal tersebut termaktub dalam ayat yang berbunyi;
“Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan lakukanlah amal
sholeh!” (Al-Mu’minun: 51)
Dalam rangkaian ayat disebutkan adanya perintah untuk memakan
makanan yang baik baru kemudian ada perintah untuk melakukan kebaikan (amal
shaleh). Ada perintah untuk hati-hati dalam mengkonsumsi sesuatu sebelum
seseorang ingin melakukan kebaikan. Hal ini menyiratkan bahwa dalam sudut
pandang Islam ada keterkaitan antara makanan dan kemudahan seseorang untuk
menjadi baik. Cara pandang ini mungkin tidak bisa dilihat dari sudut pandang positivistik,
yang memisahkan antara yang besifat fisik material dengan hal yang bersifat
psikis non-material. Dalam pengertian yang lain Islam mengarahkan pada manusia
pada satu paradigma bahwa kesalehan dan kebaikan seseorang dipengaruhi oleh
makanan ia makan. Makanan yang baik memudahkan seseorang untuk menjadi baik,
sebaliknya makanan yang tidak baik memiliki dampak pada seseorang sehingga ia
menjadi tidak baik.
Dalam banyak seminar parenting yang mengarahkan bagaimana peran
orangtua dalam mendidik anak menjadi baik dan shaleh, hal di atas jarang
terungkap. Akan tetapi itulah yang sebenarnya yang ada dalam sudut pandang
Islam. Rasulullah memberikan penjelasan yang lebih gamblang besarnya pengaruh
makanan dalam diri seseorang. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yang
berbunyi:
Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya
Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan
orang-orang Mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Lalu
Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh,
hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit
(seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya Rabb.’ Sedangkan makanannya haram, minumannya
haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan barang yang haram. Bagaimana
mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim)
Hadits di atas menjelaskan adanya korelasi antara halal-haramnya
makanan dengan kemungkinan terkabulnya doa. Di antara ciri kebaikan seseorang
adalah ketika kasih sayang Allah selalu bersamanya yang salah satu tandanya
adalah terkabulnya doa dan harapan yang ia mohonkan. Walaupun secara lahiriah,
seseorang layak diterima doanya akan tetapi dikarenaka konsumsi makanannya yang
tidak baik, kelayakan itu menjadi hilang sehingga doanya tertolak di sisi
Allah.
Paradigma hubungan antara makanan dan keshalehan seseorang juga
tersirat dari doa saat seseorang hendak mengkonsumsi sesuatu yang diajarkan
oleh Rasulullah atas riwayat Imam Ibnu Sunni yang berbunyi:
“Ya Allah berikanlah kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau
berikan dan jauhkan kami dari azab neraka”.
Doa tersebut sudah banyak dihafal, bahkan oleh setiap anak Muslim
yang berusia di bawah balita. Akan tetapi kadangkala pupus dari renungan kita
pesan di balik doa tersebut. Saat makanan sudah tersaji di meja makan, kemudian
siap untuk disantap, lalu doa yang dibaca adalah berikan keberkahan dan jauhkan
dari azab neraka. Bagaimana dua permohonan yang dipanjatkan yang seolah tidak
berhubungan satu sama lain. Akan tetapi jika dilihat dalam rangkaian tulisan
ini baru jelas bahwa makanan yang dimakan memiliki pengaruh besar pada
baik-buruknya seseorang. Makanan yang halal memudahkan seseorang menjadi baik
dan mengantarkannya menuju syurga, sebaliknya makanan yang haram memudahkan
seseorang menjadi tidak baik dan menjerumuskannya ke dalam neraka.
Hal tersebut juga diperkuat dengan hadits lain yang berbunyi:
“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih berhak
terhadapnya. (HR at-Thabrani).”
Di samping itu, Islam juga memberikan training penguatan diri yang
luar biasa melalui ibadah puasa baik melalui puasa wajib setiap Ramadhan dan
puasa Sunnah pada hari Senin dan Kamis. Bagaimana seseorang saat menjalankan
puasa, dilatih untuk bisa menghindarkan diri pada siang hari dari hal-hal yang
halal. Orang yang berpuasa meninggalkan makanan halal yang diperolehnya dengan
cara yang baik. Hal tersebut mampu dilakukannya dengan baik. Puasa yang
dilakukan secara berkala memberikan bekal mental yang besar sehingga ungkapan
di atas “jangankan mencari yang halal, mencari harta yang haram saja sulit”,
kemudian diganti dengan ungkapan yang berbunyi; “jangankan meninggalkan yang
haram, meninggalkan yang halal sekalipun jika diperintahkan Allah, seorang
Muslim dapat melakukannya”. Kepada para orangtua, doa yang selalu dipanjatkan
agar mendapatkan anak yang “qurrata a’yun” (menjadi penyejuk hati) hendaknya
diiringi dengan memberikan nafkah terbaik yang dijamin kehalalannya. Kepada
para ibu, cita-cita membangun keluarga yang penuh ketenangan dan rasa cinta
hendaknya dimulai dengan bersyukur dan bangga kepada bapak yang berjuang dengan
hanya memberikan yang halal sebagai nafkah keluarga. Kepada anak-anak, sikap
bangga kepada orangtua yang selalu komitmen dengan memberikan nafkah yang halal
akan memudahkan mereka menjadi anak-anak yang berprestasi di dunia dan di
akhirat. Doa dan harapan agar setiap keluarga tidak hanya berkumpul di dunia
tetapi juga berkumpul di akhirat dalam syurga harus dimulai dengan kehalalan
makanan yang setiap hari dikonsumsi bersama. Oleh karena itu banggalah terhadap
yang halal karena hal itu akan menjadi sendi-sendi yang mengabadikan
kebersamaan sebuah keluarga lintas kehidupan dunia menuju akhirat.
Sejarah telah membuktikan bagaimana para orangtua dahulu cukup
sukses dalam mengantarkan anak-anaknya dengan masa depan yang cerah. Setidaknya
hal tersebut ditunjukkan dengan keberhasilan mereka menjadikan anak-anaknya
lebih hebat dari para orang tua. Hal yang kadang luput dari perhatian terkait
dengan pendidikan anak adalah garansi kehalalan makanan yang orangtua dahulu berikan
kepada anak-anaknya. Nafkah yang mereka berikan melalui proses yang jelas dan
hampir tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur yang diharamkan. Setidaknya
sejarah tersebut menjadi cerminan bagaimana membangun kesuksesan keluarga
dengan nafkah halal yang diberikan oleh para orangtua kepada anak-anaknya.
DR. Abdul Ghoni, M.Hum.
No comments:
Post a Comment