Monday, February 20, 2017

Banggalah dengan yang Halal


Ada ungkapan sederhana yang perlu mendapatkan perhatian. Ungkapan tersebut berbunyi; “jangankan mencari rezeki yang halal, mencari yang haram saja susah!”.  Sekilas pernyataan tersebut logis dan bisa diterima. Akan tetapi jika dilihat lebih jauh, ungkapan tersebut merapuhkan sendi-sendi nilai kemanusiaan universal. 

Perlu dilihat bagaimana Islam membingkai umatnya agar tidakt terjerembab dalam slogan yang keliru. Islam sejak 1400 tahun lebih yang lalu telah mengarahkan bagaimana proses konsumsi seorang Muslim?
Allah sudah memberikan wasiat kepada Rasul agar dapat mengontrol pola konsuminya yang kemudian hal itu juga menjadi wasiat bagi seluruh umat Islam. Hal tersebut termaktub dalam ayat yang berbunyi;

“Wahai para Rasul, makanlah makanan yang baik dan lakukanlah amal sholeh!” (Al-Mu’minun: 51)

Dalam rangkaian ayat disebutkan adanya perintah untuk memakan makanan yang baik baru kemudian ada perintah untuk melakukan kebaikan (amal shaleh). Ada perintah untuk hati-hati dalam mengkonsumsi sesuatu sebelum seseorang ingin melakukan kebaikan. Hal ini menyiratkan bahwa dalam sudut pandang Islam ada keterkaitan antara makanan dan kemudahan seseorang untuk menjadi baik. Cara pandang ini mungkin tidak bisa dilihat dari sudut pandang positivistik, yang memisahkan antara yang besifat fisik material dengan hal yang bersifat psikis non-material. Dalam pengertian yang lain Islam mengarahkan pada manusia pada satu paradigma bahwa kesalehan dan kebaikan seseorang dipengaruhi oleh makanan ia makan. Makanan yang baik memudahkan seseorang untuk menjadi baik, sebaliknya makanan yang tidak baik memiliki dampak pada seseorang sehingga ia menjadi tidak baik.

Dalam banyak seminar parenting yang mengarahkan bagaimana peran orangtua dalam mendidik anak menjadi baik dan shaleh, hal di atas jarang terungkap. Akan tetapi itulah yang sebenarnya yang ada dalam sudut pandang Islam. Rasulullah memberikan penjelasan yang lebih gamblang besarnya pengaruh makanan dalam diri seseorang. Hal tersebut dijelaskan dalam hadits yang berbunyi:

Abu Hurairah ra. berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah Maha Baik dan tidak menerima kecuali yang baik. Dia memerintahkan orang-orang Mukmin sama seperti yang diperintahkan kepada para Rasul. Lalu Rasulullah bercerita tentang seorang lelaki yang menempuh perjalanan jauh, hingga rambutnya kusut dan kotor. Ia menengadahkan kedua tangannya ke langit (seraya berdoa), ‘Ya Rabb, ya Rabb.’ Sedangkan makanannya haram, minumannya haram, pakaiannya haram dan ia kenyang dengan barang yang haram. Bagaimana mungkin doanya dikabulkan?” (HR Muslim)

Hadits di atas menjelaskan adanya korelasi antara halal-haramnya makanan dengan kemungkinan terkabulnya doa. Di antara ciri kebaikan seseorang adalah ketika kasih sayang Allah selalu bersamanya yang salah satu tandanya adalah terkabulnya doa dan harapan yang ia mohonkan. Walaupun secara lahiriah, seseorang layak diterima doanya akan tetapi dikarenaka konsumsi makanannya yang tidak baik, kelayakan itu menjadi hilang sehingga doanya tertolak di sisi Allah.

Paradigma hubungan antara makanan dan keshalehan seseorang juga tersirat dari doa saat seseorang hendak mengkonsumsi sesuatu yang diajarkan oleh Rasulullah atas riwayat Imam Ibnu Sunni yang berbunyi:

“Ya Allah berikanlah kami keberkahan atas rezeki yang telah Engkau berikan dan jauhkan kami dari azab neraka”.

Doa tersebut sudah banyak dihafal, bahkan oleh setiap anak Muslim yang berusia di bawah balita. Akan tetapi kadangkala pupus dari renungan kita pesan di balik doa tersebut. Saat makanan sudah tersaji di meja makan, kemudian siap untuk disantap, lalu doa yang dibaca adalah berikan keberkahan dan jauhkan dari azab neraka. Bagaimana dua permohonan yang dipanjatkan yang seolah tidak berhubungan satu sama lain. Akan tetapi jika dilihat dalam rangkaian tulisan ini baru jelas bahwa makanan yang dimakan memiliki pengaruh besar pada baik-buruknya seseorang. Makanan yang halal memudahkan seseorang menjadi baik dan mengantarkannya menuju syurga, sebaliknya makanan yang haram memudahkan seseorang menjadi tidak baik dan menjerumuskannya ke dalam neraka.

Hal tersebut juga diperkuat dengan hadits lain yang berbunyi:

“Setiap daging yang tumbuh dari barang haram, maka neraka lebih berhak terhadapnya. (HR at-Thabrani).”

Di samping itu, Islam juga memberikan training penguatan diri yang luar biasa melalui ibadah puasa baik melalui puasa wajib setiap Ramadhan dan puasa Sunnah pada hari Senin dan Kamis. Bagaimana seseorang saat menjalankan puasa, dilatih untuk bisa menghindarkan diri pada siang hari dari hal-hal yang halal. Orang yang berpuasa meninggalkan makanan halal yang diperolehnya dengan cara yang baik. Hal tersebut mampu dilakukannya dengan baik. Puasa yang dilakukan secara berkala memberikan bekal mental yang besar sehingga ungkapan di atas “jangankan mencari yang halal, mencari harta yang haram saja sulit”, kemudian diganti dengan ungkapan yang berbunyi; “jangankan meninggalkan yang haram, meninggalkan yang halal sekalipun jika diperintahkan Allah, seorang Muslim dapat melakukannya”. Kepada para orangtua, doa yang selalu dipanjatkan agar mendapatkan anak yang “qurrata a’yun” (menjadi penyejuk hati) hendaknya diiringi dengan memberikan nafkah terbaik yang dijamin kehalalannya. Kepada para ibu, cita-cita membangun keluarga yang penuh ketenangan dan rasa cinta hendaknya dimulai dengan bersyukur dan bangga kepada bapak yang berjuang dengan hanya memberikan yang halal sebagai nafkah keluarga. Kepada anak-anak, sikap bangga kepada orangtua yang selalu komitmen dengan memberikan nafkah yang halal akan memudahkan mereka menjadi anak-anak yang berprestasi di dunia dan di akhirat. Doa dan harapan agar setiap keluarga tidak hanya berkumpul di dunia tetapi juga berkumpul di akhirat dalam syurga harus dimulai dengan kehalalan makanan yang setiap hari dikonsumsi bersama. Oleh karena itu banggalah terhadap yang halal karena hal itu akan menjadi sendi-sendi yang mengabadikan kebersamaan sebuah keluarga lintas kehidupan dunia menuju akhirat.

Sejarah telah membuktikan bagaimana para orangtua dahulu cukup sukses dalam mengantarkan anak-anaknya dengan masa depan yang cerah. Setidaknya hal tersebut ditunjukkan dengan keberhasilan mereka menjadikan anak-anaknya lebih hebat dari para orang tua. Hal yang kadang luput dari perhatian terkait dengan pendidikan anak adalah garansi kehalalan makanan yang orangtua dahulu berikan kepada anak-anaknya. Nafkah yang mereka berikan melalui proses yang jelas dan hampir tidak terkontaminasi dengan unsur-unsur yang diharamkan. Setidaknya sejarah tersebut menjadi cerminan bagaimana membangun kesuksesan keluarga dengan nafkah halal yang diberikan oleh para orangtua kepada anak-anaknya.

DR. Abdul Ghoni, M.Hum.

No comments:

Post a Comment